Menganalisis Struktur dan Kebahasaan Teks Editorial

Menganalisis Struktur dan Kebahasaan Teks Editorial


Struktur kebahasaan teks editorial:


  1. Tesis

Bagian pendahuluan dari teks editorial yang memperkenalkan isu peristiwa (persoalan aktual, fenomenal, dan kontroversial) atau  permasalahan yang akan dibahas di bagian selanjutnya.


  1. Argumen

Bagian ini merupakan bagian pembahasan yang berisi tanggapan redaksi terhadap isu yang sudah diperkenalkan sebelumnya.


  1. Penegasan

Bagian terakhir yang berupa simpulan, saran atau rekomendasi dan juga terselip harapan redaksi kepada pihak terkait dalam menghadapi atau mengatasi persoalan yang terjadi dalam isu yang dibawakan.


Contoh teks editorial yang berjudul ‘Kado Tahun Baru 2014 dari Pertamina’


Pertamina mengirim kado Tahun Baru yang pahit kepada masyarakat. Menaikkan harga elpiji tabung 12 kg lebih dari 50 persen. Akibatnya sampai tingkat konsumen harganya menjadi Rp125.000,00 hingga Rp130.000,00. Bahkan di lokasi yang relatif jauh dari pangkalan, mencapai Rp150.000,00—Rp200.000,00.


Sungguh, kenaikan harga itu merupakan kado yang tidak simpatik, tidak bijak, dan tidak logis. Masyarakat sebagai konsumen menjadi terkaget-kaget karena kenaikan tanpa didahului sosialisasi. Pertamina memutuskan secara sepihak seraya mengiringinya dengan alasan yang terkesan logis. Merugi Rp22 triliun selama 6 tahun sebagai dampak kenaikan harga di pasar internasional serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.


Kenaikan harga itu mengharuskan Presiden Republik Indonesia yang sedang melakukan kunjungan kerja di Jawa Timur meminta Wakil Presiden Republik Indonesia menggelar rapat mendadak dengan para menteri terkait. Mendengarkan penjelasan Direksi Pertamina dan pandangan Menko Ekuin, yang kesimpulannya dilaporkan kepada Presiden. Berdasar kesimpulan rapat itulah, Presiden kemudian membuat keputusan harga elpiji 12 kg yang diumumkan pada Minggu kemarin.



Kita mengapresiasi langkah cekatan pemerintah dalam mengapresiasi kenaikan harga elpiji non-subsidi 12 kg itu seraya mengiringinya dengan pertanyaan. Benarkah pemerintah tidak tahu atau tidak diberitahu mengenai rencana Pertamina menaikkan secara sewenang-wenang. Pertamina merupakan perusahaan negara yang diamanatkan undang-undang sebagai pengelola minyak dan gas bumi untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Rasanya mustahil kalau pemerintah, dalam hal ini Menko Ekuin dan Menteri BUMN tidak tahu, tidak diberi tahu serta tidak dimintai pandangan, pendapat, dan pertimbangannya.


Kalau dugaan kita yang seperti itu benar adanya, bisa saja di antara kita menengarai langkah pemerintah itu sebagai reaksi semu. Reaksi yang muncul sebagai bentuk kekagetan atas reaksi keras yang ditunjukkan pimpinan DPR RI, DPD RI, dan masyarakat luas. Malah boleh jadi ada politisi yang mengategorikannya sebagai reaksi yang cenderung bersifat pencitraan sehingga terbangun kesan bahwa pemerintah memperhatikan kesulitan sekaligus melindungi kebutuhan rakyat.


Kita tidak bisa menerima sepenuhnya alasan merugi Rp22 triliun selama 6 tahun menjadi regulator elpiji sehingga serta-merta Pertamina menaikkan harga elpiji? Dalam peran dan tugasnya yang mulia inilah Pertamina tidak bisa semata-mata menjadikan harga pasar dunia sebagai kiblat dalam membuat keputusan. Sebab di sisi lain perusahaan memperoleh keuntungan besar atas hasil tambang minyak dan gas yang dieksploitasi dari perut bumi Indonesia.


Keuntungan besar itulah yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Caranya dengan mengambil atau menyisihkan sepersekian persen keuntungan untuk mensubsidi kebutuhan bahan bakar kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Sumber teks: Kedaulatan Rakyat, 6 Juli 2014


Kaidah kebahasaan dari teks editorial ‘Kado Tahun Baru 2014 dari Pertamina’


  1. Menggunakan kalimat retoris

Penggunaan kalimat retoris. Kalimat retoris adalah kalimat pertanyaan yang tidak ditujukan untuk mendapatkan jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dimaksudkan agar pembaca merenungkan masalah yang dipertanyakan.


Contoh:


Benarkah pemerintah tidak tahu atau tidak diberitahu mengenai rencana Pertamina menaikkan harga elpiji? (Paragraf ke-4)


  1. Menggunakan kata-kata populer

Menggunakan kata-kata populer sehingga mudah bagi khalayak untuk mencernanya. Tujuannya agar pembaca tetap merasa rileks meskipun membaca masalah yang serius dipenuhi dengan tanggapan yang kritis.


Contoh:


Terkaget-kaget, pencitraan, dan menengarai.


  1. Menggunakan kata ganti penunjuk

Menggunakan kata ganti penunjuk yang merujuk pada waktu, tempat, peristiwa, atau hal lainnya yang menjadi fokus ulasan.


Contoh:


  1. Sungguh, kenaikan harga itu merupakan kado yang tidak simpatik, tidak bijak, dan tidak logis. (Paragraf ke-2)


  1. Berdasarkan kesimpulan rapat itulah, Presiden kemudian membuat keputusan harga elpiji 12 kg yang diumumkan pada hari Minggu kemarin. (Paragraf ke-3)


  1. Rasanya mustahil kalau pemerintah, dalam hal ini Menko Ekuin dan Menteri BUMN tidak tahu, tidak diberitahu serta tidak dimintai pandangan, pendapat, dan pertimbangannya. (Paragraf ke-4)


  1. Menggunakan konjungsi kausalitas

Banyak penggunaan konjungsi kausalitas, seperti sebab, sehingga, karena, oleh sebab itu. Hal ini terkait dengan penggunaan sejumlah argumen yang dikemukakan redaktur berkenaan dengan masalah yang dikupasnya.


Contoh:


  1. Masyarakat sebagai konsumen menjadi terkaget-kaget karena kenaikan tanpa didahului sosialisasi. (Paragraf ke-2)


  1. Malah boleh jadi ada politisi yang mengkategorikannya sebagai reaksi yang cenderung bersifat pencitraan sehingga terbangun kesan bahwa pemerintah memperhatikan kesulitan sekaligus melindungi kebutuhan rakyat. (Paragraf ke-5)


c.
Sebab di sisi lain perusahaan memperoleh keuntungan besar atas hasil tambang minyak dan gas yang dieksploitasi dari perut bumi Indonesia. (Paragraf ke-6)

Menganalisis Struktur dan Kebahasaan Teks Editorial