K.D 4.4 PRAKTIK MEMBUAT NOVEL
Dirimu yang Masih Terjebak Dalam Sangkar
Bagian 1: Kita Ini Mirip
Masa lalu adalah sesuatu yang dimiliki oleh setiap orang. Meskipun kita semua memiliki masa lalu, pengalaman hidup yang telah dilalui membuat masa lalu setiap orang menjadi berbeda. Masa lalu dianggap sebagai pembangun bagi seseorang di masa depannya. Namun, seperti pedang bermata dua, masa lalu dapat membuat seseorang tumbuh menjadi lebih baik atau mengikat dan menghambat perkembangannya. Apakah masa lalu seharusnya menjadi perhatian atau tidak? Semua tergantung pada bagaimana seseorang menjalani hidupnya.
"Nanda...! Nanda, tunggu aku...! Hei, Nanda...!" Terengah-engah, seorang gadis kecil berlari sambil membawa tas berhias di bahunya, sambil melambaikan tangannya untuk memanggil seorang gadis yang berjalan di depannya. Terdengar langkah kaki dan suara lonceng kecil yang tergantung di tas gadis yang sedang berlari itu. Gadis yang dipanggil akhirnya berhenti dan menoleh ke belakang. Dengan heran dia bertanya, "Kamu... memanggil aku?"
"Gitu dong, akhirnya kamu berhenti..." ujar gadis kecil itu sambil dengan semangat menggenggam kedua tangan Nanda. Meskipun agak terkejut, Nanda tidak melepaskan tangannya dari gadis di depannya. Dengan perasaan bingung dan sedikit malu, Nanda menatap gadis tersebut.
"A-ada apa, ya?" tanya Nanda dengan suara kecil.
"Nggak ada apa-apa. Aku hanya ingin berteman denganmu," jawab gadis itu.
"Kamu... mau berteman dengan aku?" tanya Nanda mencoba mengonfirmasi. Dia takut dirinya salah mendengar atau apa.
"Tentu saja! Mungkin kamu tidak ingat, namaku Loveena. Kita sekelas!" jawab gadis itu dengan senyuman lebar.
"Oh, maaf... Aku Nanda."
"Aku tahu! Hahaha."
Loveena tersenyum lebar setelah mendengar bahwa permintaan pertemanannya disetujui. Dia melepaskan salah satu tangannya dan dengan perlahan menarik tangan Nanda, memimpin mereka berjalan di depan untuk melanjutkan perjalanan pulang. Meskipun mereka berjalan di arah yang sama, namun perasaan mereka berbeda. Loveena melangkah dengan percaya diri dan penuh kegembiraan, sementara Nanda hanya bisa diam dan mengikuti langkahnya dengan kepala tertunduk.
Apakah sikap Nanda sama ketika dia berjalan pulang sendirian seperti tadi? Jawabannya adalah ya. Namun, kali ini kehampaan di hatinya mulai terisi dengan perasaan senang, karena dia baru saja mendapatkan seorang teman dan bahkan bisa pulang bersama. Itu adalah berkah kecil yang membangkitkan emosi dalam diri gadis yang selama ini tidak mengekspresikan perasaannya.
"Rumahmu di komplek depan sana, kan? Menyeberang sendirian itu menakutkan, jadi aku akan menemanimu sampai rumah!" ucap Loveena.
"Oh, terima kasih..." jawab Nanda.
"Sama-sama!"
Belum ada kata yang terucap di antara mereka sehingga selama perjalanan mereka tidak dapat berbicara tentang hal lain. Yang bisa mereka rasakan bersama hanyalah sensasi terik matahari menjelang siang, namun beruntung udara sekitar terasa cukup sejuk karena angin yang terus bertiup sejak tadi. Berkat udara yang menyejukkan itu, mereka mampu melewati perjalanan beberapa menit tanpa merasa lelah, dan akhirnya tiba di rumah masing-masing dengan selamat.
Sudah tiga minggu berlalu sejak itu, namun Loveena yang saat ini berada di kelas merasa bahwa pertemanannya dengan Nanda tidak pernah berkembang.
"Loveena... Hey Loveena, kamu tidak membawa bekal?" tanya seorang teman kepada Loveena.
"Ah, aku membawanya, kok, ta-da~!" jawab Loveena dengan terkejut, namun ia mencoba menutupi kejutannya dengan antusiasme, sambil menunjukkan bekalnya.
"Tapi maaf, ya, aku... aku akan makan nanti saja, kalian bisa pergi ke taman dulu!" ujar Loveena dengan halus untuk menolak ajakan beberapa temannya tadi.
Pikiran kosong Loveena kembali mengaitkan topik yang sedang dipikirkannya sebelumnya, yaitu tentang pertemanannya dengan Nanda yang belum mengalami perkembangan sama sekali. Di sekolah, mereka jarang berbicara satu sama lain. Nanda adalah tipe orang yang pendiam, sedangkan Loveena memiliki banyak teman yang mengajaknya bermain. Loveena sesekali mencoba mengajak Nanda untuk bergabung, namun selalu ditolak. Satu-satunya kesempatan mereka untuk berbicara adalah saat pulang bersama.
Namun itu pun tidak terjadi setiap hari, dan topik yang mereka bahas selalu berulang tentang tugas, guru yang mengajar hari itu, dan momen-momen di sekolah. Hari ini, Loveena akhirnya membulatkan tekadnya untuk mengambil inisiatif ketika melihat Nanda sedang duduk sendirian di mejanya. Sebelum teman-teman mereka datang, Loveena bangkit dari kursinya dan mendekati Nanda sambil membawa sesuatu.
"Hei, Nanda... Apa boleh aku makan bekal bersamamu?" tanya Loveena.
"Um, boleh..." jawab Nanda dengan suara kecil sambil merapikan tempat makanannya yang baru selesai digunakan.
Loveena mendekati Nanda yang saat itu sedang makan bekal sendirian di mejanya. Ia juga menarik kursi kosong dari samping agar bisa duduk dan makan bersama secara dekat di satu meja yang sama. Ketika makanan mereka disandingkan, terlihat perbedaan yang mencolok. Loveena memiliki bekal dengan lauk yang seimbang, terdiri dari sayuran dan daging yang ditata dengan rapi, sementara Nanda hanya memiliki beberapa potong nugget dalam bekalnya.
Makanan beku untuk anak sekolah? Mungkin itu tidak salah, tetapi terlihat berbeda jika dibandingkan dengan makanan yang disiapkan dengan cinta oleh orang tua. Meskipun terdapat perbedaan itu, keduanya memiliki satu pemikiran yang sama, yaitu menikmati bekal mereka dalam keheningan tanpa berbicara.
"Hei, Nanda," kata Loveena memecah keheningan di antara mereka.
"Apa...?" jawab Nanda dengan suara kecil sambil merapikan tempat makanannya.
"Aku, umm, merasa sedih juga, lho..." ujar Loveena terbata-bata, bingung memilih kata yang tepat.
"Sedih kenapa?"
"Itu... minggu lalu... Ketika kamu dipanggil oleh ibu guru dan ada pengumuman yang itu," jelas Loveena dengan terbata-bata dan kebingungan.
"Ah, itu..." Nanda mengucapkan dengan nada membingungkan.
Minggu lalu, sesuatu terjadi yang membuat Nanda terlihat begitu murung. Ia dipanggil oleh wali kelasnya dan dibawa ke ruang guru, di mana ia menerima berita yang sangat mengejutkan tentang kematian ibu tercintanya. Saat itu, Nanda dipulangkan oleh seorang guru lain tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Selama tiga hari berikutnya, ia absen dari sekolah dan berita tentang kematian ibunya mulai menyebar. Reaksi sedih dari teman-teman sekelasnya hanya bersifat sementara, seperti halnya reaksi anak-anak SD pada umumnya. Namun, ada yang tetap ingat dengan berita itu, yaitu Nanda sendiri dan juga teman barunya, Loveena.
"Maaf aku baru mengatakannya sekarang, tapi alasan aku mendekatimu adalah karena aku pikir kamu masih sedih. Aku penasaran dan mencoba menghiburmu... Dan, tentu saja, aku juga berpikir untuk berteman denganmu setelahnya, karena aku merasa kita mirip," ujar Loveena.
"Kita... Mirip?" tanya Nanda dengan kebingungan.
"Iya. Beberapa waktu lalu, aku tidak ingin masuk SD karena nenekku meninggal beberapa hari sebelumnya..."
"Eh?" Nanda terkejut mendengarnya.
"Kamu tahu, kadang-kadang orang tuaku harus pergi bekerja jauh, jadi aku selalu diurus oleh kakek dan nenekku. Saat itu, aku juga menangis terus, tapi tangisanku berhenti begitu ibuku berhenti bekerja dan memilih untuk tinggal di rumah bersamaku!" lanjut Loveena.
Nanda mendengarkan setiap kata yang diucapkan Loveena dengan perasaan campur aduk. Tentu saja, ia senang mendengar bahwa temannya yang "mirip" itu mau berbagi cerita tentang dirinya dan dengan jujur mengungkapkan niatnya untuk berteman. Hal itu membuatnya lebih memahami Loveena dan merasa lebih terbuka, serta timbul keinginan untuk berteman dengannya. Namun, Nanda masih sedikit bingung dengan apa yang dimaksud Loveena dengan "mirip". Bukan arti sebenarnya dari kata tersebut, melainkan Nanda sama sekali tidak merasa adanya kemiripan antara mereka berdua.
Label: Bahasa Indonesia